Jangan Lupa, Masih Ada SMK

Sistem zonasi sekolah masih diwarnai oleh keluh-kesah, protes, dan caci-maki dari orangtua yang anaknya gagal masuk sekolah favorit meski nilai raport dan ujian nasionalnya tinggi.

Sistem yang mengharuskan murid bersekolah di sekolah yang terdekat dengan rumah mereka ini dimulai pada tahun ajaran 2017/2018. Karena baru berjalan tiga tahun maka fasilitas, kegiatan ekstrakurikuler, dan mutu guru di sekolah “non-favorit” masih sama seperti sebelumnya. 

Jadi banyak orangtua tidak rela anak mereka yang pintar akademisnya mendapat kualitas sekolah yang “dibawah standar”, apalagi dalam keseharian belajarnya disatukan dengan anak lain yang “tidak setara” dengan anak mereka. Bisa-bisa bukannya tambah pandai, anak mereka malah terbawa jadi “gak bener”.

Menteri Muhadjir memang berkali-kali menyatakan bahwa sistem zonasi akan menghilangkan status sekolah favorit. Semua sekolah akan sama dan pemerataan kualitas pendidikan akan tercipta.

Pada saat kita hanya berkutat pada SMP dan SMA negeri dan pak menteri sibuk menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak boleh memodifikasi sistem zonasi apapun alasannya, kita lupa bahwa ada SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). 

Sekolah kejuruan didirikan sebagai alternatif untuk anak-anak yang kurang mempunyai bakat akademis namun memiliki keterampilan tinggi.

Sistem zonasi memang harus dilakukan, tetapi baiknya dibarengi dengan penguatan SMK. Kenapa? Supaya kualitas anak-anak yang pintar secara akademis sama dengan anak-anak yang terampil. Anak-anak terampil lulusan SMK bisa meneruskan kuliah dan setelah lulus bisa berkontribusi sebagai perencana sekaligus pelaksana bagi kemajuan bermacam industri di tanah air.

Dulu ada anggapan bahwa SMK adalah sekolah “buangan” untuk anak-anak bodoh yang tidak mampu sekolah di SMA. Sekarang tidak lagi. Karena SMK adalah sekolah untuk  anak-anak terampil yang punya kreativitas di bidang tertentu (tata boga, busana, desain grafis, keperawatan, penyiaran, dan lain sebagainya).

Tapi kalau mereka terampil dan kreatif lantas kenapa banyak lulusan SMK yang menganggur daripada lulusan SMA?

Itu, salah satunya, disebabkan soft skill (keahlian khusus) lulusan SMK lebih rendah dari SMA. Namun pada SMK yang kualitas pendidikannya bagus, soft skill lulusannya sebagus lulusan SMA.

Soft skill adalah kemampuan individu untuk memahami kondisi psikologisnya sendiri, mengatur ucapan, pikiran, dan sikap sesuai dengan lingkungan sekitar.

Jika lulusan dari SMK yang kualitasnya bagus punya soft skill sebagus lulusan SMA, maka SMK lain juga perlu ditingkatkan mutunya. Inilah yang dikejar Presiden Jokowi. 

Presiden telah meminta Menteri Muhadjir menambah jurusan di SMK dan mengubah kurikulum agar sesuai dengan kebutuhan industri dan perkembangan zaman. Guru-guru terampil di SMK juga harus diperbanyak dan ditingkatkan daya saingnya.

Saat masih menjadi walikota Solo, Jokowi menggunakan mobil rakitan SMKN 2 Surakarta—sekarang dikenal dengan merek Kiat Esemka—sebagai kendaraan operasionalnya sehari-hari.

Jika presidennya saja sudah mendorong kemajuan kualitas SMK, lalu kenapa tidak menyekolahkan anak-anak kita ke SMK? Masuk SMK bebas zonasi dan cocok bila ternyata anak kita sangat terampil namun kurang minatnya pada pembelajaran akademis.

Jumlah peserta didik yang mendaftar ke SMK Negeri favorit tahun ajaran 2019/2020 di Kota Tasikmalaya, DKI Jakarta, Tegal, Brebes, Cimahi, dan Bandar Lampung membludak. Jika favoritisme SMA Negeri akan musnah karena diterapkannya sistem zonasi, mungkinkah favoritisme di sekolah kejuruan justru subur?

Beberapa SMK sudah menyeleksi calon peserta didik lebih ketat dari sebelumnya untuk menyaring murid terbaik. Kalau yang demikian terus terjadi gengsi SMK (Negeri) akan “naik kelas” melebihi SMA. 

Di sisi lain SMA Negeri yang sudah kehilangan label favorit, unggulan, dan populer, akan diisi oleh murid-murid yang lemah motivasi dan tidak punya daya juang untuk berprestasi secara akademis.

Lemahnya motivasi dan daya juang disebabkan pada saat masuk sekolah, mereka sudah pasti diterima seberapa pun jebloknya nilai mereka. Daya tampung untuk peserta didik yang rumahnya dekat dengan sekolah adalah 90 persen. Jika mayoritas dari 90 persen itu punya nilai kelulusan SMP yang pas-pasan, paling banter mereka hanya harus berusaha agar tidak tinggal kelas.

Dengan kondisi yang demikian, orangtua yang berduit sudah pasti tidak akan melirik sekolah negeri. Maka sekolah swasta yang sudah populer akan tambah populer. Dan favoritisme juga akan bertambah tinggi di sekolah swasta (bahkan mungkin juga di madrasah negeri).

Bapak Muhadjir sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan sudah benar menerapkan sistem zonasi demi pemerataan kualitas pendidikan. Tetapi harus dibarengi oleh peningkatan kualitas guru dan fasilitas di setiap sekolah negeri. Kalau tidak maka yang terjadi bukanlah rata mutu bagusnya tapi rata jebloknya.

1 thought on “Jangan Lupa, Masih Ada SMK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *